Jenateke Kesultanan Bima
Jenateke Kesultanan Bima
Siapa itu Jena Teke? Menjadi sebuah pertanyaan tersendiri dalam kajian sejarah kesultanan Bima. Memang, selama ini banyak yang mengaitkan bahwa Jena Teke itu secara simbolik adalah jabatan Sultan yang mempunyai hak istimewa maupun ahli waris yang akan di tetapkan oleh hadat, banyak berseliweran pendapat yang kurang tepat, oleh sebab itu dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba menjabarkan siapa itu Jena Teke dan apa tugasnya.
Secara terminologi Jena Teke terbagi atas dua kata, pertama Jena yang mempunyai arti seseorang dan Teke berarti Tongkat. Secara harfiah Jena Teke adalah seorang yang bertugas memegang tongkat kekuasaan yang akan datang. Gelar Jena Teke hanya untuk anak-anak sultan, namun gelar tersebut tidak harus di turunkan kepada anak pertama, bisa juga di turunkan pada anak kedua, ketiga atau anak dari istri sultan yang lainnya. Pemberian gelar tersebut haruslah melalui kesepakatan majelis kesultanan bukan aklamasi keluarga sultan.
Dalam sejarah kesultanan, juga banyak anak-anak sultan yang tidak mendapatkan gelar Jena Teke atau dalam adat di sebut “wati ra londo kaipu sara”. Mari kita melihat sejarah terdahulu seperti Sultan Alauddin anak dari Sultan Hasanuddin yang di angkat menjadi Jena Teke adalah anak kedua juga dari istri kedua Karaeng Bisampole. Sebelumnya Sultan Hasanuddin mempunyai anak pertama dari istri melayu yang bernama Datu Muslimin, namun dia memilih menjadi melayu dan menolak gelar Jena Teke (lihat Bo Bumi Luma Rasanae).
Penobatan seorang Jena Teke, dilakukan oleh Raja Bicara, dimana ketika majelis sudah memutuskan siapa yang menjadi Jena Teke, lalu Raja Bicara menyerahkan sebuah payung pada sang pewaris tahta tersebut. Jena Teke sangat diperhatikan penampilannya, mulai dari pakaiannya, tutur katanya hingga perilakunya. Dalam majelis biasanya posisi duduk saling berhimpitan antara Bumi Luma Rasanae, Wazir Al-Muazam (Raja Bicara) bersama Jena Teke didepan seluruh Khatib, Lebe dan Tureli Jeneli (lihat Upacara dan Busana Adat Bima dalam naskah).
Dari sini kita bisa menilai bagaimana seorang Jena Teke itu di bentuk kepribadiannya sesuai dengan syara kesultanan, dimana etika sangat di utamakan. Menurut Abdullah Ahmad dalam prosesi Tuha Ro Lanti sebelum seorang Putra Mahkota menjadi Sultan ia terlebih dulu di panggil “Nggou” yaitu panggilan untuk anjing (bahasa Bima halus), hal ini untuk memaknai bahwa dia harus tahan mental dan melatih kesabarannya. Kemudian dia mengucapkan sumpah “Tohompa ra weki sura dou marimpa” yang berarti mengutamakan kepentingan rakyat dan Negara daripada kepentingan keluarga dan pribadi. Setelah itu di lantiklah dia menjadi Sultan.
Sumber Penulis: Fahru Rizki
Sumber Foto: Rizal Guevara dan Tezar Bima
Keterangan Foto: Penobatan Jenateke Muhammad Ferryandi (Dae Yandi) Putra Alm. H. Ferry Zulkarnain, ST (Dae Ferry)